Fiuuuh… darahku seperti tersedot naik ke ubun-ubun. Seluruh syarafku
kaku tak bisa kugerakkan. Aku terpaku. Menatapnya yang sedang berdiri 8
meter di depanku. Di seberang jalan.
Ada perasaan yang membuat jantung ini berdegup lebih kuat saat
melihatnya. Ada senyuman yang merekah saat memandangnya. Walau semua itu
hanya terjadi dalam detik-detik yang kurasakan sangat cepat berlalu.
Tiba-tiba aku merasa kedinginan. Padahal jam di tanganku menunjukkan
pukul 12:32 p.m. Matahari sangat terik menyinari di atas kepalaku. Tapi,
aku malah berkeringat dingin. Aku merasa seperti dihujani
pecahan-pecahan es tepat di kepalaku. Apa semua ini juga termasuk efek
karena menatap, Dia..?
12 September 2011…
Jam sudah menunjukkan pukul 14:07 p.m tapi kenapa Dia belum juga
terlihat?. Ini baru saja Senin ke-4 ku. Lalu Dia tiba-tiba menghilang.
Kemana Dia…?.
Sejak 4 minggu yang lalu, aku memiliki kegiatan rutin yang harus
dikerjakan. Aku harus menunggu Dia. Menunggu hanya untuk melihat Dia
keluar dari gerbang sekolahnya hingga menuju seberang jalan, lalu Dia
akan menghilang di belokan gang ke-3 dari jalan ini. Hanya itu. Dan
setiap Senin pukul 11:15 a.m, aku sudah harus ada di pinggir jalan depan
sekolahnya. Kalau tidak, maka aku tidak akan melihat senyumnya saat
bercanda dengan teman-temannya, tidak akan melihat paras yang mempesona
itu dan tidak akan merasakan desiran aneh tiap aku bersitatap dengannya.
Huffft… sudah 20 menit dan Dia belum juga muncul. Aku berusaha
memfokuskan pandangan pada gerbang sekolahnya. Tapi, tak bisa. Aku mulai
lelah. Terik matahari mulai membuatku gerah. Lalu, aku putuskan aku
akan menunggunya hingga pukul 15:00 p.m. jika Dia belum tampak juga,
dengan berat hati aku akan meninggalkan tempatku dengan rasa kecewa yang
sangat penuh di hatiku.
Baru saja pikiran itu terbentuk di otakku, jantungku sudah berpacu
dengan cepat. Tak kurasakan lagi lelah maupun gerah. Karena detik itu
juga, mataku menangkap wajah yang dari tadi aku tunggu-tunggu. Senyumku
sudah mulai merekah dan kemudian langsung layu ketika melihat Dia tak
sendiri. Di sampingya berdiri seorang gadis cantik yang belum pernah
kulihat sebelumnya.
Mereka berpegangan tangan dengan erat ketika menyeberang jalan. Dan
mereka cocok. Mereka serasi. Begitu pantas untuk bersandingan. Aku
cemburu. Kubiarkan mereka hilang di belokan, lalu aku berjalan pergi
meninggalkan tempat itu dengan hati yang terluka.
14 November 2011…
Kata orang, angka 13 adalah angka keberuntungan. Hari ini adalah Senin
ke-13 ku. Semoga ini hari keberuntunganku. 9 minggu yang lalu, aku
memang sakit hati melihatnya dengan orang lain. Namun, sakit hati itu
berangsur-angsur membaik. Karena minggu-minggu berikutnya, gadis cantik
itu tiada di sampingnya.
Hmmm… seperti biasa, 12:20 p.m aku telah duduk manis di sebuah bangku
yang ada di pinggir jalan depan sekolahnya. Menunggu pak satpam membuka
pintu gerbang. Menunggu wajahnya muncul di antara gerombolan-geombolan
anak sekolah lainnya.
Sepuluh menit berlalu. Pak satpam membuka pintu gerbang yang langsung
kusambut dengan wajah ceria. Beberapa gerombol anak keluar sambil
bercanda tawa. Selang beberapa menit kemudian, kulihat wajahnya muncul
di antara kerumunan.
Desiran aneh itu kembali muncul, bahkan sekarang lebih kuat dari
sebelum-sebelumnya. Jantungku yang telah berdegup lebih keras, kini
berdegup lebih keras lagi. Dingin itu makin menusukku. Kenapa ya?.
Saking fokusnya aku melihatnya, hingga aku tak menyadari seorang
gadis telah berdiri di hadapanku dengan senyum merona. Dan aku langsung
mengenalinya! Dia adalah gadis cantik yang pernah bersama DIA. Sebelum
aku sempat berkata apapun. Dia telah berucap, “Mbak, ini surat dari
kakakku.” Sambil menunjuk ke arah Dia yang mulai menyeberang. Kini
jelaslah hubungan mereka selama ini, hanya kakak-beradik.
Aku membuka surat itu dengan nafas tertahan. Hanya berisi tak lebih
dari 3 kata, “Hei”. Hanya itu. Gadis itu telah pergi bersama Dia,
membiarkanku terhanyut dalam perasaan yang tak bisa terjelaskan dengan
kata-kata. Oh, tidak. Ck, ck, ck.. Dia, Dia, Dia…
# THE END #
0 komentar:
Posting Komentar